( Nanang hanya
bisa diam dirumah, seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Dia seperti orang
linglunng, tidak ingat apapun dan siapa pun. Setiap hari, dia hanya duduk
melamun )
I
|
a Nanang (30
tahun). Tentu, nama samaran. Seorang pria yang menjadi petugas keamanan sekaligus
penegak hukum di negara ini. Tugas dan kewajiban Nanang sebenarnya mulia:
berdoro di barisan institusi yang diberi kewenangan untuk mengayomi, melayani
bahkan memberikan rasa aman ditengah masyarakat.
Nanang seharusnya menjadi contoh
bagaimana penegak hukum berperilaku. Tapi, dia seperti lupa dan tak bisa
menajdi sosok yang didambakan bagi institusinya. Dia yang dibekali perlengkapan
senjaata sebagai pengaman, justru senjata itu kerap dislahgun
Kan. Nanang yang memeang memiliki
perawakan gagah, bertubuh kekar dan berotot seringkali memanggul senjata di
depan siapapun.
Setiap
kali keluar dari kantor ataurumah, dia selalu menenteng senjata. Bahkan,
senjata laras panjang. Seolah dia ingin menunjukan di depan banyak orang, dia
itu gagah fan sorang pengaman. Bahkan, ketika berkunjung ke rumah tetangga
sebelah rumah, dia pun menenteng senjata.
Orang-orang
kampung (sebut saja Kampung Durian) tak tahu, apa yang diinginkan oleh Nanang.
Padahal, kampung itu dalam keadaan aman, tidak sedang ada perseteruan. Wajar,
jika kampung merasa ciut dan kecut melihat Nanang. Warga kampung kadang miris
dan takut. Apalagi, Nanang dahulu dikenal nakal. Sudah bukan rahasia lagi jika
ia suka minum, berjudi dan main perempuan.
Tapi,
setelah menjadi salah satu pengayom masyarakat dan penegak hukum, kelakuan
Nanang justru lebih menjadi-jadi. Jika dulu dia dikenal sebagai peminum, penjudi,
dan tukang main perempuan, kini dia malah menjadi backing. Semua warga kampung tahu. Nanang tak jarang membandari
para pemuda kampung untuk pesta miras dan melakukan judi secara massal.
Tetapi,
apa yang dilakukan oleh warga? Nanang
dipandang sebagai pengayom sekaligus penegak hukim malah tidak mencegah semua
perilaku yang merusak moral tersebut, bahkan dia yang menjadi backin dan membandari semua itu. Warga hanya mengelus dada, dan ulah
Nanang itu pun menjadi bahangunjingan.
Nanang
sering pulang larut malam, dengan mulut bau alkohol atau minuman keras. Tak
jarang, warga melihat Nanang bahkan pulang ke rumah membawa wanita asing. Kelakuan
yang kurang baik itu sering membuat orang tua Nanang merasa malu kepada
penduduk kampung. Ironisnya, makin hari kelakuan Nanang itu kian tak
terkendali. Ibunya sudah berulang kali memberi nasehat, tetapi Nanang justru
selalu menanggapi denagan kemarahan.
Akhirnya,
warga kampung hanya bisa berharap kepada Mahmuud (28 tahun) yang tidak lain
kakak sepupu Nanang untuk menegur. Tapi
apa daya dengan Mahmud? Apalagi, Mahmud lebih muda, meski dalam hubungan
keluarga sebagai kakak sepupu. Di mata orang kampung, karakter Mahmud memenag
bertolak belakang atau dapat diibaratkan seperti bumi dan langit jika
dibandingkan dengan Nanang. Mahmud sopan, lembut, dan santun. Meski Mahmud
bukan lulusan pesantren, tapi di mata warga dia itu mempunyai akhlak yang baik dibanding
Nanang.
Saudara
Sepupu
Nanang
dan Mahmud itu saudara sepupu- ibu Nanang adik dari ayahnya Mahmud. Tapi
keduanya baik Nanang maupun Mahmud sama-sama anak semata wayang. Bahkan, wajah
mereka berdua pun mirip. Tapi, kemiripan wajah itu ternyata tidak menunjukan
kemiripan perilaku. Nanang keras dan mudah emosi, Mahmud lembut dan lebih arif.
Setelah
lulus SMA, Mahmud memilih meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke ibu
kota. Kepergian Mahmud ke ibu kota tidak lain untuk mencari pekerjaan. Nasib
baik ternyata berpihak kepada Mahmud. Dia bahkan langsung mendapat pekerjaan di
sebuah mall di bilangan Jakarta.
Hai
berlalu, bulan terbilang dan tahun berganti. Mahmud yang semula hanya sebagai
pelayan, seiring perjalanan waktu mulai naik jabatan. Hal itu tidak lain karena
di mata atasan, Mahmud dipandang sebagai orang yang jujur, baik dan bisa
memegang amanah. Dari situlah, Mahmud kemudian diangkat sebagai pengawas bagi
teman-temannya. Perlahan gaji bulanan Mahmud pun naik.
Mahmud
yang memang baik dan jujur bisa menyisihkan sebagian uang dari gaji yang dia
terima untuk dikirim kepada orang tuanya di kampung halaman. Apalagi saat
gajinya sudah lumayan besar, tentu dia lebih banyak lagi memberikan untuk kedua
orang tuanya dan sebagian lagi dia tabung.
Lain
kisah Mahmud, lain pula dengan kisah Nanang. Selepas SMA, Nanang tidak
mengikuti langkah Mahmud. Dia lebih senang menghabiskan waktunya untuk bergaul
dengan teman-temannya yang tidak benar. Pergi malam pulang pagi, jarang di
rumah. Jika malam tiba, kehidupan Nanang pun seperti dimulai. Dia pun bergaul
secara bebas. Tak heran, beberapa kali dia terlihat memebawa wanita asing ke
rumah.
Sebenarnya,
orang tua Nanang tidak tinggal diam, tetapi apa daya karena Nanang sudah merasa
besar dan tidak lagi mau diatur. Akhirnya, orangtua Nanang tak mau mengambil
resiko. Acuh. Apalagi, Nanang itu orangnya gampang naik pitam. Jika dinasehati
suka marah. Murka. Orangtuanya akhirnya memilih diam, meski memendam perasaan
malu pada tetangga.
Berkat
Bantuan Mahmud
Suatu
hari, ada pendaftaran untuk menjadi anggota korps keamanan dan penegak hukum.
Nanang yang memang memiliki tubuh yang tinggi, kekar, dan berotot diminta oleh
teman-temannya untuk ikut mendaftar. Nanang sadar, dia memiliki semua
persyaratan itu dan yakin bisa diterima. Akhirnya, dia memaksa orangtuanya
untuk memberikan izin sekaligus memberikan uang untuk keperluan selama proses
seleksi.
Sayang,
orang tua Nanang bukan oranng kaya, dan tidak memiliki uang sehingga tak bisa
berbuat apa-apa. Tetapi, Nanang seperti tidak mau tahu dan terus memaksa.
Akhirnya, ibunya Nanang dengan sangat terpaksa meminjam uang kepada Mahmud yang
sudah bekerja di ibu kota.
Sebagai
saudara, Mahmud tidak tega membiarkan Nanang tidak bisa ikut mendaftar dan
melewatkan kesempatan itu. Mahmud pun berharap setelah Nanang diterima nanti,
apalagi menjadi pengayom masyarakat akan bisa berubah atau setidaknya dalam
keluarganya ada orang yang bisa dibanggakan. Mahmud pun rela membantu,
mengambil semua tabungannya yang selama itu dia sisihkan.
Nanang
beruntung. Dia akhirnya diterima tes dan seleksi yang ketat itu. Tetapi setelah
menjadi pengayom masyarakat Nanang bukannya bersyukur malah perilaku-nya
semakin menjadi-jadi. Ia kian sombong dan arogan. Lebih parah lagi, ia
benar-benar lupa pada keluarga Mahmud kakak sepupuny dan juga orang yang
sebenarnya telah banyak memnabantu.
Suatu
hari, Mahmud sedang mendapat musibah. Dia jatuh sakit. Akibatnya, dia terpaksa
harus cuti dari tempatnya bekerja. Tetapi, lama mahmud tidak kunjung sembuh
sehingga dia pun di PHK dari tempatnya bekerja. Orangtua Mahmud yang tak punya
uang untuk mengobati Mahmud terpaksa memberanikan diri mencari pinjaman ke
beberapa orang, termasuk kepada Nanang yang sudah “jadi orang”
Bak
kacang yang lupa kulitnya. Nanang seakan melupakan kebaikan Mahmud yang dulu
telah bersusah membantu. Nanang sepeser pun tak mau membantu Mahmud. Bahkan dia
tak pernah berkunjung walaupun sekedar menjenguk Mahmud sewaktu sakit. Dengan
sangat kecewa, orang tua Mahmud hanya dapat mengadukan nasib Mahmud, anak
semata wayangnya itu kepada Allah. Mereka berdo’a kepada Allah agar membalas
semua perilaku Nanang yang dianggap mengecewakan Mahmud.
Akhir
kisah Nanang
Hingga
akhirnya, suatu hari, peristiwa naas yang tidak diinginkan oleh siapa pun itu
pun menimpa Nanang. Hari itu, Nanang pulang tengah malam dalam keadaan mabuk
mengendarai sepeda motor. Tiba-tiba saat di persimpangan jalan, Nanang menabrak
jembatan yang ada di dekat rumahnya. Seketika itu, dia terjungkal dan tidak
sadarkn diri.
Untung,
masih ada dua warga kampung yang sedang ronda kebetulan melihat dan mau
menolong Nanang. Malam itu, tubuh Nanang yang tak sadarkan diri segera
dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh warga kampung yang sedang ronda setelah
dibantu beberapa tetangga.
Tapi,
hal itu tidak banyak membantu. Setelah sekian lama dirawat, Nanang memang bisa
sadar dari koma, tetapi otak Nanang tidak bisa kembali seperti semula. Otaknya
divonis kuranng sehat. Akhirnya dia hilang ingatan karena benturan keras
dikepalanya denganpagar jembatan di jalan raya di dekat rumahnya itu. Dia
bahkan tidak ingat kepada siapa pun, termasuk kepada orangtuanya sendiri.
Akhirnya,
Nanang terpaksa pensiun dini dari tugasnya sebagai pengayom masyarakat
sekaligus penegak hukum di negeri ini. Kini Nanang hanya bisa diam di rumah.
Dia sperti orang linglung, tidak ingat apa-apa dan siapa pun. Setiap hari dia
hanya duduk melamun.